Sebuah Catatan Perjalanan1


Udara pagi masih sangat menusuk tulang ketika saya keluar dari rumah. Dengan sebuah ransel lusuh dan beban yang memberat di punggung kususuri jalanan kampung yang aspalnya sudah banyak yang terlepas karena banyaknya kendaraan dengan kapasitas muatan yang berlebih atau karena dana pembangunannya banyak di korupsi. Jalan raya yang menghubungkan Wonosobo-Purwokerto ini masih sepi hanya angkot-angkot berwarna kuning mulai berebut penumpang. Sebuah mikrobus lewat dan kuhentikan cukup dengan satu lambaian tangan. Kunaiki bus yang hanya berpenumpang berapa gelintir saja. Maklum hari itu bukan hari pasaran. Nampak pedagang duku tidur di jok belakang dengan karung berisi dagangannya. Penumpang lain sebagian tengah asyik melakukan aktivitas sendiri.
"Ongkosnya Mbak,"kata kernet.
Kuulurkan selembar seribuan dan sekeping pecahan lima ratus rupiah. Lalu aku asyik mengamati pemandangan dari kaca jendela yang sedikit kusam. Getaran mesin yang menua sedikit mengganngu konsentrasi saya tapi sepanjang jalan memang masih lengang. Toko-toko milik para Cina belum dibuka hanya pedagang di pasar pagi mulai menghitung keuntungannya.
Mikrobus berehenti di terminal induk Wonosobo.
Terminal cukup lengang hanya beberapa calo menawarkan bus yang berhenti.
"Kemana Mbak?" tanyanya.
"Magelang," jawabku singkat.
Calo itu pun berlalu menghampiri calon penumpang lain. Tak berapa lama seorang pedagang koran menghampiri saya.
"Koran Mbak, ada Genie, Suara Merdeka, Ka Er, Jawa Pos," tawarnya.
"Kompasnya ada Pak?" tanyaku.
"Belum ada Mbak," jawabnya.
"Ya sudah Jawa Posnya satu," kataku.
Diulurkannya satu eksemplar koran kepadaku dan kuberikan tiga lembar ribuan.
"Matur Nuwun," dan penjual koran itu pun berlalu.
Bus pun datang ada aku melangkah naik. Tak banyak penumpang pagi itu. Selang beberapa saat bus dengan mesin yang cukup mengaduk-aduk perut itu berjalan. Lajunya lambat dan membuat kepala agak sedikit pening. Di Pasar Kertek bus berhenti. Naiklah tiga orang pengamen remaja. Mereka menyanyikan sebuah lagu campursari yang judulnya tidak saya ketahui namun cukup merdu. Satu lagu berlalu dan kendaraan yang terbatuk-batuk itu melanjutkan perjalanan.
Kabut menyelimuti jalanan. Kebun teh dengan pucuk-pucuk cemara di sela-selanya terlihat menghijau. nampak beberapa wanita sengan kebaya dan tudung bambu dan menggendong keranjang yang memberat tengah memetik pucuk-pucuk daun teh yang siap dipanen. Kebun teh itu milik sebuah perusahan perkebunan yang bernama Tambi. Sebenarnya ada tiga lokasi kebun teh (Tanjungsari, Bedakah, dan Sigedang) sejenis akan tetapi yang saya lewati pagi itu dalah perkebunan teh di Bedakah. Aroma segar menyusup ke hidung dan dinginnya kabut menyusup ke tulang-tulang. Brr.....
Bus terus melaju, di daerah Reco, nampak penambang batu tengah mengaso di samping batu-batu hasil tambangannya. Sambil menghisap rokok sosok lelaki-lelaki berotot baja itu menunggui batu-batunya. Di sebelahnya nampak lahan-lahan tembakau yang masih kecil dan masih menunggu waktu lama untuk dipanen. Dengan pelan bus melewati jalanan. Meninggalkan Sindoro-Sumbing yang angkuh dan menyembunyikan Wonosobo dari peradapan.
Gerbang selamat jalan telah nampak di depan mata. dan mulailah masuk ke kabupaten yang dinaungi dua gunung itu pula, Kabupaten Temaggung....

Wonosobo, 21 Mei 2007 Perjalanan Wonosobo-Jogja

Comments

Popular posts from this blog

Sebuah Catatan Kecil...

Perkembangan Aliran Linguistik

PEMAKAIAN BAHASA PROKEM SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DI KALANGAN REMAJA