Dan Guru pun Bisa Belajar dari Murid

Akan selalu ada yang pertama. Setelah training yang melelahkan selama tiga bulan akhirnya aku mendapatkan kesempatan pertama untuk mengajar di lembaga ini, Alam Bahasa. Adalah James Wellstead, orang Kanada yang menjadi murid pertamaku Senin siang itu, 11 Januari 2010. Mulanya aku khawatir kalau aku akan gugup seperti biasanya ketika aku mikro teaching di kelas training, tapi aku berusaha menjaga kepercayaan dalam diriku ”bahwa aku mampu dan aku bisa, dia baru mulai belajar bahasa Indonesia dan aku sudah belajar bahasa Indonesia sejak TK bahkan sampai aku menyelesaikan studi di universitas”. Kusiapkan semuanya dengan hati-hati dan pukul 10.15 rasa penasaran itu terjawab. Semua tak sesulit yang aku bayangkan bahkan lancar saja. Muridku yang lumayan pintar sehingga yang aku latihkan bisa dia tangkap dengan mudah. Dan aku menikmati pengalaman mengajar itu. Aku merasa nyaman menjadi guru untuk orang asing dari seberang benua itu.
Jika aku bandingkan dengan menjadi guru bahasa Indonesia di sekolah formal, maka aku merasa lebih senang menjadi guru bahasa Indonesia untuk penutur asing. Selain mengajarkan bahasa, kita juga bisa bertukar pengetahuan tentang budaya. Sangat menarik berdiskusi tentang bagaimana bertamu, bagaimana pernikahan, sampai bagaimana sistem kesehatan di negara mereka. Ditambah lagi dengan target pembelajaran yang jelas yaitu murid bisa berkomunikasi lisan dan tulisan sehingga tidak ada beban moral yang berat seperti ketika mengajar di sekolah formal di mana ketika murid melakukan tindakan yang tidak baik akan selalu dihubungkan dengan pertanyaan, ”Dia sekolah di mana?” atau lebih ekstrem ”Kemarin muridmu ada yang bla bla bla bla?” Sebuah tanggung jawab moral yang lumayan berat karena guru memang bukan sekadar pengajar tetapi juga pendidik. Belum lagi ketika apa yang kita ajarkan harus dibenturkan dengan sistem pendidikan kita di mana standar kualitas ditentukan oleh sebuah momok bernama UNAS. Rasa-rasanya menjadi semakin kabur antara tujuan pembelajaran (dalam hal ini pembelajaran bahasa Indonesia) yang konon menurut silabus adalah meningkatkan kemampuan berbahasa (berbicara, membaca, menulis, menyimak) dan kemampuan bersastra di mana ternyata pengukur kualitas target pembelajarannya hanya soal pilihan ganda berjumlah 60 buah yang menurutku tidak layak untuk menguji bagaimana kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra.
Membicarakan sistem pendidikan kita memang tak akan ada habisnya. Kembali ke topik awal, selain beberapa kelebihan yang sudah kusebutkan, ada hal lain yang tak kalah penting. Mempelajari esensi dan makna setiap kata. Terkadang kita meremehkan penggunaan kata tidak pernah dan belum pernah, pulang dan kembali, dan banyak kata lain yang sebenarnya berbeda tetapi kita samakan penggunaanya. Menjadi guru bahasa Indonesia bagi orang asing ternyata membuat kita harus mengenal karakter setiap kata yang kita ajarkan. Banyak kata yang pada mulanya kita anggap sama ternyata tetap ada pembedaan maknanya. Saya ingat ketika ujian tengah training saya terjebak dengan kata ”ada” dan ”punya”. Saat itu saya tidak menyadari bahwa dua kata itu berbeda (tulisannya saja beda, maknanya jelas beda). Sebelumnya mungkin saya tidak memperhatikan karena saya sering bertanya ”Kamu ada uang?” atau ”Kamu ada baju warna merah?”. Kata ada dalam kalimat itu dalam percakapan sehari-hari yang tidak formal terkadang maknanya kita samakan dengan ”punya” tetapi ketika kita mengajarkannya kepada orang asing, mereka akan sangat jeli membedakan makna, bagaimana strukturnya, susunan kalimatnya. Orang asing belajar bahasa Indonesia pun sama dengan kita ketika belajar bahasa Inggris. Jadi memang selalu ada yang baru ketika kita memasuki sebuah dunia baru dan ada banyak pengetahuan di balik bahasa.
Akan selalu ada yang datang dan pergi mungkin James adalah murid pertamaku meskipun dia mungkin juga tak sadar kalau dia adalah murid pertamaku. Dan setelah dia akan ada ekspatriat-ekspatriat lain yang menjadi muridku. Tentu akan ada banyak hal baru dari sana, ada banyak budaya baru. Yah, bukan hanya murid saja yang belajar dari guru, tapi guru pun bisa belajar dari murid.
Yogyakarta, 16 April 2010
(Tulisan yang tertunda berbulan-bulan proses penyelesaiannya)

Comments

  1. boleh, tunggu ya..sudah lama tidak menulis..sedikit sulit..

    ReplyDelete
  2. Mas Zak...aku belum menulis cerita untukmu lagi...rasanya sulit percaya kamu sudah tak ada...aku tahu tulisan berikut di blogku kupersembahkan untuk kamu... RIP

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebuah Catatan Kecil...

Perkembangan Aliran Linguistik

PEMAKAIAN BAHASA PROKEM SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DI KALANGAN REMAJA