Sebuah Catatan Perjalanan1
Udara pagi masih sangat menusuk tulang ketika saya keluar dari rumah. Dengan sebuah ransel lusuh dan beban yang memberat di punggung kususuri jalanan kampung yang aspalnya sudah banyak yang terlepas karena banyaknya kendaraan dengan kapasitas muatan yang berlebih atau karena dana pembangunannya banyak di korupsi. Jalan raya yang menghubungkan Wonosobo-Purwokerto ini masih sepi hanya angkot-angkot berwarna kuning mulai berebut penumpang. Sebuah mikrobus lewat dan kuhentikan cukup dengan satu lambaian tangan. Kunaiki bus yang hanya berpenumpang berapa gelintir saja. Maklum hari itu bukan hari pasaran. Nampak pedagang duku tidur di jok belakang dengan karung berisi dagangannya. Penumpang lain sebagian tengah asyik melakukan aktivitas sendiri. "Ongkosnya Mbak,"kata kernet. Kuulurkan selembar seribuan dan sekeping pecahan lima ratus rupiah. Lalu aku asyik mengamati pemandangan dari kaca jendela yang sedikit kusam. Getaran mesin yang menua sedikit mengganngu konsentrasi saya tapi s