Mendaki Borobudur, Membaca Sejarah Budha

Ini perjalanan ke sekian kalinya ke Borobudur. Menyusuri jejak-jejak sejarah peradaban Budha di Indonesia. Kali ini dengan seorang murid dari Belanda. Jam 08.00 kami berangkat dari Alam Bahasa Indonesia, tempatku bekerja sebagai guru bahasa Indonesia untuk orang asing. Perjalanan satu jam yang penuh obrolan ringan cukup untuk membunuh waktu. Memasuki kawasan Borobudur sopir menyuruhku untuk membeli tiket di calo. Rp 120.000 katanya. Aku tidak mau. Seperti biasa aku ingin melewati jalur yang sewajarnya.
"Satu tiket asing," kataku pada petugas tiket.
"15 dollar atau seratus tiga puluh lima ribu rupiah."
Kuulurkan lembaran senilai seratus lima puluh ribu dan petugas mengembalikan lima belas ribu rupiah. Petugas entrance mengecek tiket dan dia bertanya padaku perihal tiketku. Kubilang aku sudah biasa ke Borobudur membawa murid asing dan biasanya tidak pakai tiket. Petugas pun menyilakan kami untuk masuk kebetulan aku memakai baju batik yang merupakan ikon guide Borobudur.
Selepas lolos security check kami memasuki area wisata Borobudur. Kulihat gajah-gajah belum terlihat di area "persewaan gajah". Aku mulai menjelaskan perihal Borobudur yang sudah berdiri sejak Dinasti Syailendra di abad ke 8 Masehi. Aku berjalan ke sebelah kanan dan menjelaskan pola Borobudur yang tergambar pada sebuah papan. "Ini namanya pola Mandala, pola ini juga menjadi pola Candi Sewu," jelasku singkat.
Menaiki candi tua itu, muridku ingin berfoto. Baru saja satu gambar terambil, seorang ibu muda dengan kaca mata hitam meminta foto bersama muridku. "Anda jadi selebritis hari ini," dan dia tertawa.
Memasuki Lantai pertama. Lantai 1 disebut kamadhatu yang berarti dunia yang masih dipenuhi oleh nafsu. Di sana kami melihat relief yang disebut Karmawibhangga yang berkisah tentang hukum karma. Naik ke lantai selanjutnya, kami bertemu dengan anak-anak berseragam SMP yang tengah menyelesaikan tugas bahasa Inggris untuk wawanacara dengan turis asing. Yah perjalanan terhenti sejenak karena mereka ingin wawancara dengan muridku. Sepuluh menit berlalu, selepas obrolan singkat mereka kami menyusuri deretan kisah perjalanan Budha, sejarah kelahiran Sidharta Gautama yang terangkum dalam deretan relief berjuluk Lalitavistara. Relief itu dimulai dari kisah Budha di Surga yang ingin menitis ke dunia. Dia memilih Dewi Maya istri dari Raja Chuyodana untuk menjadi bakal ibunya dan kemudian menjadikan maya bermimpi ada gajah masuk ke dalam rahimya. Raja lalu meminta informasi dari seorang Brahmana dan dia mendapat kabar bahwa istrinya akan mengandung Budha. Sejak itu, Raja banyak memberi sedekah kepada para brahmana, orang-orang miskin, orang-orang cacat. Setelah sembilan bulan, tibalah saatnya dia melahirkan. Maya pun pergi ke taman Lumbini dan melahirkan di sana. Namun sayang setelah melahirkan ia meninggal. Ajaib bayi yang lahir itu bisa berjalan dan setiap langkahnya muncul lotus. Muridku yang mendengar ceritaku berkata kalau kisah itu mirip dengan kisah kelahiran Yesus. Budha yang menitis itu kemudian diberi nama Sidharta (Sidharta Gautama) dan ia diasuh oleh Dewi Gautami, adik raja.
Kisah pun berlanjut ketika Sidharta Gautama dewasa dan ia ingin menikah. Ia harus mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Gopa. Bahkan di sayembara itu dia harus merelakan gajahnya dibunuh oleh saingannya. Ia pun melempar gajah mati itu dengan telunjuknya. Banyak sayembara dilalui untuk mendapatkan Dewi Gopa dan setelah sayembara itu dia akhirnya berhasip memperistri Dewi Gopa.
Tinggal di istana membuatnya lupa akan tanggung jawabnya di dunia sampai akhirnya dewa datang di mimpinya dan mengingatkan akan tanggung jawab itu. Dia lalu memutuskan untuk pergi dari istana tetapi raja menghalanginya bahkan memberi iming-iming tiga buah istana dan banyak wanita cantik untuk menahannya agar tidak pergi. Tapi Sidharta tetap pergi dan mengemban tugasnya. Relief-relief yang berjumlah 160 buah di tingkatan ini selanjutnya berkisah tentang perjalanan Sidharta selepas pergi dari istana.
Relief itu pun berujung dan kami menaiki lantai selanjutnya yang bercerita tentang Sudhana yang ingin mencari pengetahuan tertinggi. Tak banyak yang bisa diceritakan di lantai yang berisi relief yang disebut Gandawyuha ini. Begitupun di lantai selanjutnya yang masih berada di lantai yang disebut rupadhatu.
Akhirnya sampai juga di lantai yang disebut arupadhatu. Lantai yang berisi stupa-stupa yang di dalamnya berisi patung-patung ini terdiri dari tiga lantai. Lantai terakhir adalah stupa utama. Yah, lambang dari nirwana. Puncak tertinggi dari candi yang namanya diambil dari kata sambarabuddhara ini.
Muridku tiba-tiba berkata, "Wah, nirwana masih tutup ya?"
Dan kami pun tertawa bersama-sama.

Yogyakarta, 16 April 2010

Comments

Popular posts from this blog

Sebuah Catatan Kecil...

Perkembangan Aliran Linguistik

PEMAKAIAN BAHASA PROKEM SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DI KALANGAN REMAJA