Sepotong Luka Untuk Ibu
Sepotong Luka untuk Ibu
Kurasakan luka itu perlahan, begitu sakit. Angin senja meniup segala asa yang dulu ada. Derap hati tak lagi mengalunkan merdu tembang-tembang cinta yang begitu bergelora dahulu. Begitu senyap. Hatiku sepi tak ada lagi warna dalam hidupku, hanya hitam dan gelap.
“Ibu,” kata itu tak lagi mampu kuucap. Aku merasa tak pantas menyebut nama yang begitu suci tak pantas kata itu keluar dari mulutku yang kotor. Tak hanya mulut tapi seluruh diriku. Begitu kotor, hitam, gelap seperti malam yang menjadi duniaku.
Pusaran arus kesadaran membawaku ke depan pintu itu, pintu rumahku yang sekian tahun kutinggalkan. Kubayangkan guratan ketuaan di wajah ibu. Guratan wajah wanita perkasa. Wanita tangguh pahlawan yang menjaga kelangsungan hidupku. Wanita keras yang penuh kasih sayang.
“Nduk, ibu ndak bisa ngasih apapun buat kamu ibu cuma bisa nyangoni ngelmu buat kamu, belajarlah yang rajin jadilah manusia hebat, jangan seperti Ibu.”
Kuingat kembali kata-kata ibu menjelang kepergianku. Lirih bisik angin melintaskan kata-kata itu di telingaku. Aku tak mampu menahan air mataku untuk mengingat semua itu. Aku tetap terdiam di depan pintu ini. Aku takut, aku tak akan berani menemui sosok itu. Karena aku telah merejamkan luka begitu dalam kepadanya.
Bayangan wajah ibu melintas sekejap di retina mataku. Bersama suara lembutnya yang selalu mengalun menyampaikan serangkaian pesan untukku.
“Nduk, hati-hati di
Begitu cepat bayangan ibu singgah berganti alunan musik disko beriringan muncul wajah Dhea, Rere, Stevi, dan Alin. Teman-temanku yang selama dua tahun dunia mereka tak terjamah olehku.
“Tin, ayolah sekali-kali ikut kami, nggak ada salahnya Lu ikut kita-kita, mumpung ada tiket gratis nih
“Tin Lu
“Tapi aku…”
“Tapi apa? Udahlah ikut aja Lu bisa pake baju gue tinggal pilih di lemari. Masa dua tahun di
Aku tak sadar mulai detik itu aku digiring ke dalam pekat yang tidak berujung tak lagi dalam ingatanku terlintas kata-kata ibu. Aku memasuki dunia yang gelap memasuki lorong yang salah lorong panjang yang tak menghadirkan jalan keluar.
Dunia malam yang selama ini menjadi dunia Rere dan teman-teman lain yang selama ini tak tersentuh mulai mendekat. Alkohol, rokok dan klub malam yang tak tersentuh olehku mulai jadi bagian dari hidupku.
Aku bukan lagi Titin yang pendiam dan hanya bergelut dengan setumpuk buku mulai bergelut dengan dunia hitam. Laki-laki tak lagi menjadi makhluk asing. Hidupku penuh dengan laki-laki, silih berganti seperti siang dan malam yang bergantian singgah.
“Tin tu cowok di meja depan tajir lho, Lu dekati aja kayaknya dia ada feeling tuh dari tadi perhatiin Lu terus.” Ocehan Alin mengalahkan musik disko yang memekakan telinga.
Kudekati cowok itu dan dia mulai merayuku. Aku terjerembab kian dalam, namun lobang yang menjebakku kini benar-benar dalam.
“Re aku hamil,” kataku sore itu pada Rere dan jawaban yang kudapat adalah ejekan dan bahan tertawaan. Aku tahu saat itu dia sedang fly tapi jawabannya cukup mendepakku menyiram lukaku dengan asam. Begitu perih.
“Goblok Lu, kok bisa? Bodoh kamu sekarang gugurian aja tu janin ngapain juga dipelihara.”
Begitu sakit kata-kata itu teman-teman yang membawaku ke dunia itu tak mau menolongku sosusi mereka memaksaku menjadi pembunuh.
Entah kenapa sekelebat kesadaran muncul di benakku. Kuambil air wudlu dan kuhadapkan diriku pada Tuhan. Meski aku merasa begitu hina aku tahu Tuhan maha pengampun, aku memohon begitu lama hingga air mataku mengalir begitu banyak. Tiba-tiba sekelebat bayangan ibu tersenyum dan aku merasa begitu jauh dari orang yang melahirkanku.
“Aku harus kembali,” gumamku lirih.
Enam tahun telah merubah
“Nduk, kamu pulang?” Ibu mengagetkanku.
“Kenapa kau diam saja? Kamu nggak pernah pulang apa kamu nggak kangen Ibu?” aku masih diam tak mampu menjawab memandang muka ibu aku tidak berani. “Oh ibu,” aku menubruknya kupeluk beliau seerat-eratnya. Aku tak sempat melihat guratan kesedihan di dahinya. Wanita ini menjadi begitu tua.
“Ibu maafkan aku, aku telah menyakitimu.” Gumamku dalam hati.
“Ibu, maafkan aku,” ucapku lirih.
“Kenapa Nduk?
“Iya Bu, tapi bukan itu masalahnya. Ibu….,” tak sanggup kulanjutkan kata-kataku.
“Ibu maafkan aku, aku hamil.” Suaraku parau beriring isak tangis. Kulihat getaran di kaki ibu dan kulihat air matanya yang tak lagi terbendung.
Aku sujud di kakinya aku pegang erat kaki yang begitu lemah itu kucurahkan segala tangisanku. Aku tak sanggup berdiri, kalaupun aku mati saat ini di kakinya aku rela.
Tiba-tiba Ibu mengangkat tanganku, membimbingku untuk berdiri.
“Nduk, bangunlah yang kamu lakukan memang salah tapi Ibu tak berhak menghakimi. Sudahlah apapun yang terjadi kamu tetap anakku dan aku adalah ibumu. Sudahlah hapus air matamu, temani Ibu disini, kita besarkan anakmu bersama-sama.” Tangisku semakin keras dan kueratkan pelukanku padanya.
Pelukan kasih sayang yang tak akan kulepas lagi.
NB: Sebenernya kemarin dah mau buat antologi cerpen di kelas tapi sampe hari ini ga jadi2 ya udah aku masukin blog aja....
sunyi, sepi, dingin, riuh. bagaimana kau bisa deskripsikan? Mungkin jika kamu baca Kawabata, diskrispi itu akan tersa lebih mak nyus....
ReplyDelete